Selasa, 01 November 2011

HITAM 1-2



1.

Kedua manusia itu sedang berada di kegelapan yang sunyi. Keduanya adalah pelajar SMA, berasal dari sekolah yang sama. Mereka berdiam dan berbincang pelan dengan mesra di dalam ruangan pramuka yang kosong. Oliviani, sang gadis memandang pemuda yang ada di hadapannya. Pemuda itu menyentuh pipinya yang putih bersih, kemudian tersenyum padanya. Oliviani merasa baru saja melihat senyum terindah di dunia.
Ia terlena oleh cinta yang diberikan pemuda yang ada di hadapannya itu. Pemuda itu memang tampan, amat tampan. Dan Oliviani adalah salah satu pengagum pemuda itu. Ia merasa sangat beruntung, karena dari sekian banyak gadis yang mengagumi pemuda itu, ternyata pemuda tersebut memilih dirinya untuk menjadi kekasih hatinya.
“Aku mencintaimu, sayang.” Kata pemuda itu pelan.
Oliviani yang tersipu menjawab, “Aku juga mencintaimu.”
“Sebesar apa cintamu padaku?”
“Bahkan lebih besar daripada yang kau kira. Aku sendiri tak bisa mengukurnya. Pasti timbangan akan rusak bila aku meletakkannya di sana.”
Keduanya tertawa.
“Kau memang pandai bercanda.” Pemuda itu meraih rambut Oliviani yang panjang lurus dan terurai indah, “tapi aku suka cara bercandamu. Sungguh romantis.”
“Hahaha. Tentu saja. Tapi aku tak bercanda untuk ini. Cintaku memang sangat besar padamu, sayang.”
Pemuda itu terdiam sambil mempermainkan rambut Oliviani yang halus. Pemuda tersebut merasa ia sedang menyentuh sutra. Karena pemuda tersebut cukup lama tak bersuara, Oliviani angkat bicara.
“Ada apa?”
Pemuda itu menggeleng, “Tidak. Aku hanya ingin meyakinkan hatiku atas apa yang kau katakan tadi.”
Kening Oliviani mengkerut, “Kau masih belum begitu percaya padaku?”
“Bukan itu maksudku.”
“Lalu?”
“Tidak. Aku hanya ingin sesuatu yang membuatku yakin.”
“Apa itu?”

Pemuda itu kembali tersenyum. Oliviani yang penasaran tampak cukup sabar menanti jawaban. Lalu pemuda itu mendekati Oliviani lagi. Jarak bereka berdiri hanya satu jengkal. Hati Oliviani berdebar.
“Kau begitu mencintaiku, sayang?” Tanya pemuda itu.
“Ya.” Oliviani menjawab mantap, “seperti yang kukatakan tadi, bahkan lebih besar daripada yang kau kira.”
“Apa kau mau melakukan semuanya untukku?”
“Demi kau. Asal itu membuatmu bahagia.”
“Apapun?”
“Apapun.”
“Bahkan untuk mati sekalipun?”
“Ya, walau harus sampai mati, akan kuperjuangkan rasa ini.”

Pemuda itu kembali tersenyum dan membelai pipi Olivani. Kemudian ia menjauhkan dirinya sedikit. Kali ini senyumnya samar. Mengandung sebuah pengertian yang lain. Namun Oliviani terlalu terlena untuk menyadari hal tersebut.
Pemuda itu merogoh sesuatu di sakunya. Begitu tangannya lepas, Oliviani melihat sesuatu yang mengkilat sedang dipegang oleh pemua tersebut. Oliviani menaikkan alisnya.
“Apa itu, sayang?”
Pemuda itu mendekatkan benda yang ia pegang ke arah wajahnya yang tampan. KLIK! Ia menekan salah satu tombol dibenda tersebut, dan di saat yang sama mencuatlah sesuatu dari dalam. Di sana Oliviani dapat menebak benda tersebut. Sebuah pisau lipat.
“Untuk apa benda itu?” Olivia bertanya dengan heran.
“Hanya untuk membuktian kata cintamu.”
Oliviani terdiam, kemudian ia tertawa, “Hahahaha, kau ini ada-ada saja. Kau juga pandai bercanda.”
“Tidak, aku tidak bercanda.”
Tawa Oliviani terhenti. Ia melihat sebuah tatapan aneh memancar dari mata pemuda di hadapannya.
“Kau ini bicara apa? Haha. Ayolah.”
“Tunggulah sebentar, aku masih ingin pembuktian itu.”
“Tapi ini sudah gelap. Sudah waktunya untuk pulang.”
Pemuda itu memainkan pisaunya.
“Tak perlu pulang. Toh apapun yang terjadi, kau tak akan bila kembali ke rumahmu lagi.”
Tiba-tiba Oliviani merasakan sesuatu yang tidak beres di sana.
“A, apa maksudmu sayang?”
“Tidak ada.”
Pemuda itu berjalan mendekatinya kembali. Oliviani yang kini tahu bahwa pemuda tersebut tidak main-main berjalan mundur dengan sedikit ketakutan.
“Tunggu dulu. Apa yang terjadi?! Kenapa?”
Pemuda itu memandangnya sayu seperti memandang bayi mungil yang baru lahir, “Matilah untukku. Tadi kau berkata bahwa kau bersedia mati demi aku.”
“Hah? Apa maksudmu?”
“Tak ada. Aku ingin sebuah pembuktian.”
“Ta, tapi… bukan itu maksudku!”
Pemuda itu semakin dekat padanya. Dengan pisau yang siap menancap kepada apapun yang ada di sana, pemuda tersebut berjalan pelan.
“A, apa-apaan ini?!” Oliviani bertanya ketakutan. Pemuda itu tetap berjalan mendekat.
“Hentikan! Hentikan! Jangan bercanda. Ini tidak lucu!”
“Buktikan janjimu. Matilah untukku.”

Tubuh Oliviani gemetar. Ia dalam bahaya besar sekarang. Pemuda tersebut semakin mendekatinya. Dan tentu saja Oliviani semakin bergerak menjauh. Tiba-tiba ia berlari. Menggebrak pintu dan berusaha membukanya. Tapi tak bisa. Ternyata terkunci. Begitu ia mencoba meraih kuncinya, Oliviani tak mendapati kunci itu di sana.
Ia semakin ketakutan. Berusaha kabur dan berteriak serta menggedor pintu. Ia berusaha mencari-cari kunci yang diduganya terjatuh. Pemuda itu tertawa melihat Oliviani yang ketakutan.
“Apa yang kau cari sayang?” Pemuda itu kembali merogoh sesuatu di celananya.  “Ini?”
Olivini kaget saat melihat kunci yang dicarinya berada di tangan pemuda itu. Pemuda itu tersenyum apad Oliviani, “Sayang sekali. Aku sudah menyimpan ini terlebih dahulu.”
Oliviani ketakutan setengah mati. Ia  berteriak-teriak dan menggedor-gedor pintu. “Tidak!! Tolong! Bukakan pintu! Aku mau keluar! Seseorang tolong!”
Pemuda itu terkikik, “Hahaha. Percuma Oliviani-ku yang manis. Kau pikir sekarang jam berapa? Jam 7 malam. Kau pasti tidak menyadarinya’kan? Ternyata kita sudah bersenang-senang terlalu lama tadi. Hahahaha! Bahkan penjaga sekolahpun sudah pulang. Tak ada siapapun di sini.”
“Kenapa?! Kenapa kau melakukan hal ini?! Apa maumu?!”
Pemuda itu mengkerutkan kening mendengar pertanyaan Oliviani. “Loh, aku’kan tadi sudah bilang aku igin kau membuktikan cintamu padaku.”
“Tapi tidak begini!! Tolong jangan lakukan ini!”
“Percuma. Ini sudah menjadi keinginanku. Kau adalah kekasih terbaik yang pernah kumiliki. Tak’kan kubiarkan oarng lain yang mengambil nyawamu. Biar aku saja.”
“Tidak!! Tidak!! Aku mohon!” Pada detik itu, Oliviani menangis. Ia gemetar ketakutan. Pemuda itu kini berada di depannya, hanya berjarak tiga jengkal.
“Tidak… jangan! Lepaskan aku… biarkan aku hidup!” Oliviani kembali menggedor-gedor pintu. Air matanya mengalir deras. “Tolong!! Tolong!!”
Tiba-tiba saja ia merasakan tubuh pemuda itu menempel pada tubuhnya. Digenggamnya tangan Oliviani dengan erat. Kemudian ia membalikkan tubuh Oliviani ke arahnya.
“Tidak….. tidak… aku mohon….. jangan bunuh aku…”
“Aku tak ingin ada orang lain yang merebut hidupmu.”
Pemuda itu mencium kening Oliviani dengan lembut. Seolah-olah ia memang sangat mencintainya. Kemudian turun ke leher Oliviani yang berkeringat, dikecupnya pelan. Oliviani bergetar. Ia lemas dan tak mampu berdiri lagi.
“Tidak……….., tidak…”
Pemuda itu jongkok mengikuti gerak Olivinai. Ia mendekatkan wajah ke telinga Oliviani. Dan dengan pelan berbisik.
“Selamat tinggal, sayang.”
Oliviani yang sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi menutup mata begitu mendengar perkataan pemuda tersebut.
“Kau jahat……”
Dan dengan satu gerakan, hidup Oliviani berakhir.


2.


Pagi itu, kedatangan Lonita di pintu gerbang disambut oleh beberapa mobil polisi yang terparkir di depan halaman sekolah. Semua murid yang sampai di sekolah pada saat yang sama juga terheran-heran dengan kehadiran mobil-mobil itu. Siapa yang tak akan takut begitu melihat segerombol polisi sedang berkumpul di tepi halaman sambil mewawancarai beberapa orang murid. Lonita menoleh ke kanan dan kiri. Mencari barang kali ayahnya yang  seorang kepala polisi juga ada di sana.
Tak ditemukan sang Ayah, Lonita mendengar seseorang yang memanggilnya dari belakang.
“Lonita!!”
Dia menoleh. Rasiska berlari ke arahnya.
“Ra?”
“Ada apa sih ini? Kenapa banyak mobil polisi?”
“Entahlah, aku juga baru datang. Mungkin kita harus ke dalam dulu. Barang kali jawabannya ada di dalam sekolah.”

Mereka berjalan melewati mobil polisi yang terparkir tak beraturan ke arah taman tengah sekolah. Di sana mereka menemukan lebih banyak lagi polisi. Bahkan di satu sudut, yaitu di depan ruang Pramuka, siswa-siswa begerombol seperti berusaha melihat sesuatu yang ada di dalamnya. Ada yang menangis, bahkan ada yang menjerit. Lonita menyadari sesuatu yang besar dan akan membuat sekolahnya menjadi pembicaraan orang telah terjadi.
“Pasti di sana.” Tunjuk Lonita.
“Periksa seluruh siswa, tanyakan data korban kepada orang yang mengenalnya!” Tiba-tiba dari arah belakang seorang kepala polisi terdengar sedang memerintahkan anak buahnya. Lonita dan Rasiska berpandangan.
“Korban?” Alis Lonita mengkerut.
“Apa ada kecelakaan?”
“Kecelakaan di ruang pramuka?”
“Sebaiknya kita lihat dulu! Itu Anton dan Rayandra.”
Keduanya berlari ke arah teman-teman mereka yang sedang berdiri terpaku. Mereka tampak berwajah takut.
“Teman-teman!” teriak Rasiska.
Keduanya menoleh.
“Lho kalian?!” Anton menyambut keduanya, “Kalian kemana saja?! Dicari dari tadi. Kami takut karena kalian tidak datang-datang.”
“Memang ada apa sih?”
“Lho, belum tahu juga? Kalian tahu Oliviani, tidak?”
Lonita dan Rasiska berpandangan.
“Tahu, ketua ekstra pramuka itu’kan?”
“Iya. Tadi pagi, salah seorang siswi pramuka yang kebetulan piket pagi menemukan dia tewas di ruangan itu.”
“HAAH?! keduanya berteriak bersamaan, “Tewas?!”
“Iya. Tadi tiba-tiba saja terdengar jeritan dari ruang pramuka. Saat semua mendekat, mereka menemukan Meli pingsan dengan Oliviani yang sudah tewas berlumuran darah di depannya.” kata Anton sambil menunjuk siswa-siswa kelas satu yang sedang diinterogasi polisi.
“Bagaimana bisa?” tanya Rasiska.
“Mana ku tahu?” Anton menangkat bahunya, “tapi katanya ini pembunuhan, Iya’kan Ndra’?” dia menyenggol Rayandra. Yang disenggol cuma mengangguk dan meneruskan.
“Tapi aku dengar, katanya ada juga kemungkinan kasus bunuh diri. Karena tak ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuhnya.”
Sementara Rasiska dan Anton terus berbicara, Lonita terdiam. Dilayangkan pandangan ke arah ruang pramuka yang dipenuhi siswa dan polisi itu. Ia menggigit jari, berpikir.
“Lonita?” Rayandra heran melihatnya.
“Ah, ya?”
“Ada apa?”
“Ti, tidak.” Lonita tertawa,”Hanya mencari Ayah saja.”
“Ayah? Polisi?”
“Kepala bagian.”
Rayandra menggumam tanda mengerti.
Tiba-tiba dari arah ruang pramuka terdengar ribut-ribut. Dan sesaat kemudian, sebuah kantong besar berwarna kuning sedang diangkat oleh dua orang polisi dengan menggunakan tandu. Langsung saja para siswa mendekat mengikuti kedua polisi tersebut. Siswi-siswi anggota pramuka menangis semakin jadi.
“Itu mayatnya.”
Lonita tak tahu harus berkata apa.
“Kasihan.” gumam Rasiska di sampingnya. “Padahal Oliviani adalah gadis yang cantik. Baik pula. Tewas dengan percuma dalam keadaan yang mengerikan.”
Lonita mengangguk pelan sambil menggigit bibir.

***





“Korban bernama Oliviani Trisatya. Berumur 17 tahun. Dengan ciri-ciri sebagai berikut. Tinggi 160 cm. Rambut panjang lurus, tubuh ramping kulit putih. Dan dia merupakan siswi kelas 3 SMA.”
Lonita dan teman-temannya menoleh mendengar suara polisi yang ada di belakangnya. Tampak sang Ayah berjalan pelan bersama seorang anggota penyelidiknya. Ia bermaksud mendekat, namun tampaknya keduanya sedang serius.
“Baik.” Sang Ayah menerima data yang dibawakan polisi penyelidik itu dan membalik-baliknya, “Jadi dia diduga tewas sekitar 17 jam yang lalu?”
“Ya, dan korban dipindahkan dari tempatnya tewas ke kursi yang berada tak jauh dari tempat korban seharusnya.”
Kening Ayah Lonita mengkerut, “Dipindahkan?”
“Ya, korban dibunuh di balik pintu dan dipindah ke kursi. Terbukti dari bercak darah yang lebih banyak terdapat di pintu daripada di kursi itu sendiri.”
“Bagaimana posisi Korban saat ditemukan?”
“Dia duduk dan merunduk seperti sedang berdoa, sementara tangannya memegangi perutnya yang tertusuk.”
“Alat pembunuhan?”
“Tidak ditemukan satupun.”
“Barang bukti?”
“Tak ada juga.”
“Tersangka?”
“Kami masih belum bisa menentukannya, tapi tentu saja yang paling patut dicurigai adalah penjaga sekolah, yang paling terakhir pulang. Saat ia ditanyai, ia berkata dirinya sudah pulang saat itu. Dan sama sekali tak mendengar suara apapun.”
“Apa yang dilakukan Oliviani siang harinya?”
“Menurut data yang didapat dari para anggota pramuka dan teman-teman sekelasnya..,” polisi penyelidik itu membalik lagi lembarannya, “Ia hanya melakukan kegiatan rutin setiap hari. Dan sebelumnya dikabarkan, Oliviani mengadakan janji dengan anak-anak anggota pramuka lainnya.”
Ayahnya terdiam sesaat. Kemudian mengangguk cepat. “Baik, tolong cari lagi informasi yang ada. Termasuk dari teman sekelasnya.”


Lonita diam-diam mendengar percakapan itu. Dalam hati ia memikirkan mengenai kasus pembunuhan tersebut. Sang Ayah yang sudah sendirian kini berjalan ke arahnya. Ia tersenyum pada Lonita. Ditepuknya kepala Lonita.
“Ayah?”
“Kau baik-baik saja’kan?”
Lonita mengangguk, “Ya. Tapi jujur saja. Aku kaget sekali tadi.”
“Dia orang yang dekat denganmu?”
“Siapa?”
“Oliviani Trisatya?”
“Tidak, tapi semua orang mengenal dia. Dia merupakan gadis yang terkenal di sekolah ini. Prestasinya cukup membuat sekolah ini terkenal.”
“Berarti kalian telah kehilangan bintang pelajar rupanya.”
“Ya, begitulah.” Lonita mendesah pelan.
“Sepertinya, kasus ini akan lama terungkap. Berhati-hatilah.”
“Apa menurut Ayah pembunuhnya memang penjaga sekolah itu?”
“Entahlah. Tapi sepertinya penjaga sekolah itu sama sekali tak mengenal korban, begitupun sebaliknya.”
“Oh.”
“Ayah harus segera kembali. Jaga dirimu, sayang.”
“Ya Ayah.”
“Permisi semunya. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Lonita menghembuskan napas dan duduk. Ia melirik ketiga temannya. Masing-masing punya ekspresi wajah yang berbeda. Anton cuma tersenyum saat Lonita memandangnya. Rasiska mengangkat bahunya. Sedang Rayandra seperti biasa, hanya sedikit saja emosinya yang nampak, selebihnya terlihat datar.
Tak ada yang bisa dilakukan saat itu. Keempatnya hanya terpaku di tempat mereka duduk. Pikiran mereka menjelajah. Memikirkan hari aneh itu.
“Bagaimana kalau kita makan dulu?” tanya Anton sambil berdiri dan melihat jam tangannya, “ini sudah hampir tengah hari. Aku lapar.”
Ketiganya tersenyum tanda setuju.

bersambung ke part 3

1 komentar:

Penulis gagal mengatakan...

AKU CINTA KAMU OLIVIA :)

Posting Komentar

 
;