Selasa, 01 November 2011

Aku Bahagia Arlyn, Aku Bahagia.



Aku terdiam melihat wajahnya yang tersenyum padaku. Sebuah senyuman yang sama selama setengah tahun. Kucoba mendalami senyuman itu, tapi malah membuatku sakit. Karena senyuman itu mengingatkan sederet kenangan tentang dirinya.
Semua berawal dari waktu itu. Hampir setiap hari kami bertemu. Aku yang selalu duduk di pinggir pantai sambil merenung sementara ia yang sedang asik bermain selancar dengan teman-temannya. Kami sering bertemu pandang. Aku tak bermaksud sombong. Tapi aku merasa ia tertarik padaku. Sejak saat itu pun senyuman kami menjadi sapaan-sapan kecil tiap kalinya.
Singkat cerita saja, hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kami sudah resmi dikatakan akrab. Bahkan ia sudah tahu mengapa aku selalu memakai pakaian biru rumah sakit tiap kali bertemu.
“sejak kapan?” Tanya Ziegler membuka pertanyaan soal penyakit tumor yang selama ini menggorogoti tubuhku. Aku memandangnya datar. Segera sadar ia telah membuatku tak enak.
“a.., ah. Maaf. Aku cuma ingin tahu.” Katanya gugup. Aku menggeleng pelan.
“tak apa. Wajar kalau kau ingin tahu.” Kuminum airku sejenak., kemudian meneruskan. “Sudah sekitar setengah tahun, mungkin.”
Sekarang ia yang memandangku iba. Aku tersenyum pahit. “Ah, sudahlah Ziegler, percuma kau mengasihaniku seperti itu.”
Keningnya berkerut seperti mendengar perkataan yang aneh, “Apa maksudmu, Arlyn?”
“Sudah tak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkanku. Termasuk dokter-dokter itu. sebesar apapun usaha mereka, semuanya sudah percuma. Hanya ada kesia-siaan belaka. Juga orang tuaku. Mereka terlalu muluk-muluk menghabiskan biaya demi pengobatanku.”
Pandangannya mengatakan ia tak suka dengan kata-kataku. “Kenapa kau berbicara seperti itu? seolah kau sudah menyerah untuk hidup saja?”
Aku tertawa tersendal sesaat, “aku memang sudah menyerah untuk hidup. Ayolah, Zieg. Sudah berapa lama kau mengenalku? Jangan bersikap seperti itu.”

“Kau yang jangan bersikap seperti itu!” ia menghardikku.kenapa kau begitu mudah mengatakannya? Apa kau pikir nyawamu ada sembilan sehingga bisa dengan gampangnya kau membuang satu buah?!”
“Lalu mau bagaimana lagi? Tumor ini sudah menghabiskan tubuhku selama berbulan-bulan. Hanya tinggal menunggu waktu sampai aku sekarat kemudian mati!”
“Tidak! hentikan perkataanmu itu! kau salah!. Separah apapun kondisimu, kalau kau punya semangat untuk sembuh, kau pasti sembuh! Segala sesuatunya, dirimu-lah yang menentukan! Seperti aku, aku selalu bermimpi untuk menjadi peselancar hebat! Oleh karena itu…”
“Tunggu dulu.” Aku menghentikannya perkataannya, “Peselancar hebat?”
Dia tampak kaget dengan ucapannya sendiri. Sekonyong-konyong mukanya memerah. Tapi dengan cepat, ia bisa kembali mengendalikan dirinya dan berkata dengan mantab, “Ya! Aku ingin menjadi peselancar yang hebat. Menggapai mimpi hingga membuat bangga istri dan anak-anakku kelak!”
Aku terkekeh. Ia tersendal saja berkali-kali karena malu. Tak kusangka, pemuda berumur delapan belas tahun itu punya mimpi yang begitu besar. Sungguh polos. Aku dua puluh dua tahun. Tentu saja belum mengerti hal hal yang berat seperti yang kualami.



Semakin hari, aku semakin tahu betapa besar hatinya tentang kepercayaannya dalam memegang cita-cita. Setiap kamu mengobrol, tak henti-hentinya ia memakiku karena terus menyerah untuk hidup sekaligus tak henti-hentinya bercerita tentang cita-citanya.
“bagaimana kalau suatu hari tiba-tiba kakimu kram saat kau berada di tengah laut?” tanyaku menggoda.
Lain dari perkiraanku yang menyangka ia akan marah karena lagi-lagi aku membicarakan hal yang berbau kematian, ia justru tersenyum. “ kalau aku mati dalam perjuanganku mencapai cita-cita, aku akan mati dengan tenang meski jasadku tidak ditemukan.”
Aku terhenyak dengan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Namun sesaat kami tergelak bersama-sama. Menggema di antara deburan ombak pantai.
Sering kali kutemukan ia sedang berselancar di tengah laut. Ia melenggak-lenggok indah di atas papannya, melewati lorong air yang tercipta akibat besarnya ombak. Kemudian pada suatu waktu aku melihat ia beratraksi memamerkan kebolehannya di atas papan. Sambil menunggu ombak yang siap menggulung, ia menundukkan badan. Lalu tepat saat ombak menggulung dan ia terdorong ke puncak ombak, ia mengangkat papannya dan bersalto 1800 derajat! Berputar-putar indah sebanyak lima kali di atas air dan jatuh kembali tanpa oleng sedikitpun.
Aku terpaku. Kaget bercampur kagum. Teman-temannya yang berada di pinggir pantai bersorak penuh kegembiraan. Ziegler sendiri hanya tertawa sambil melambai-lambai padaku. Saat ku lihat dia di depanku begitu ia mendekat, aku bisa merasakan, ia pasti akan meraih cita-citanya itu.
“Bagaimana kau bisa melakukan itu, Zieg?” tanyaku setelah ia duduk di sampingku.
Dia mengeringai lebar dan membetulkan posisi duduknya.
“Itu’kan karena aku berlatih, Arlyn.”
“ Ya, iya aku tahu. Tapi bagaimana kau bisa melakukannya dengan begitu tenang? Bukan kah hal seperti itu bisa membunuh  nyawamu?”
“Hahaha, aku kan sudah bilang, aku cuma berlatih. Itu saja.”
Aku melengos kesal. Kemudian pandanganku tertuju pada ranting di depanku. Kuambil dan kubuat coret-coretan yang tak berbentuk di atas pasir. Aku duduk, dia mengikuti.
“Aku akan dioperasi, Ziegler.”
Tepat seperti apa yang kuduga, Ziegler terkejut.
“Hah? Benarkah, Arlyn? Kapan?”
“Minggu depan.”
Kulihat matanya yang memandang tenang, tapi kulihat ada kecemasan di sana. Aku memalingkan muka.
“Berhentilah memandang dengan pandangan seperti itu.”
Ziegler hanya diam. Aku berbalik memandangnya.
“Berjanjilah untuk sembuh.”
Keningku mengkerut, “Hah? Berjanji? Apa aku tidak salah dengar? Berjanji untuk sembuh? Apa kau pikir gampang berjanji seperti itu?”
“Kalau kau yakin akan sembuh ya kau akan sembuh Arlyn!!”
“Mana ada yang seperti itu?! Ayolah Ziegler,  jangan seperti anak kecil yang merengek seperti semuanya mudah saja dilakukan!”
“Kau yang jangan seperti anak kecil!” bentaknya.”kau terlalu berpikir sempit! Apa kau tau? Yang menentukan sembuh tidaknya kau, ya kau sendiri! Berteriaklah dalam hati “Aku harus sembuh! Aku harus sembuh!! “ Maka kau akan sembuh!”
Aku terdiam, baru pertama aku melihat Ziegler seperti ini. Matanya tajam, menunjukkan keyakinan yang kuat. Aku takut dengan pandangan itu, mulutku terkunci rapat.
“Kau tau Arlyn? Apa yang selama ini kubayangkan sebelum tidur?”pandangannya berubah sendu. Dia memegang tanganku tapi aku menepisnya. Dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan kata-katanya.
“Aku selalu membayangkan kita berdua merawat anak-anak kita. Kau dan aku. Iya, kau dan melihat anak-anak kita tumbuh dewasa dan mewujudkan mimpi-mimpi mereka. ” dia menelan ludah sejenak, “Kamu mau kan, Arlyn?”
Tanganku gemetar. Aku tak percaya ia mengatakan itu. Sejenak aku merasa linglung.
“Aku tak tahu Ziegler, tapi aku akan berusaha.”
Dia tersenyum, “Aku akan menunggumu, sampai kapanpun.”

Hari operasi itu datang. Perasaanku bimbang tanpa kutahu sebabnya. Saat masuk ruang operasi,tak kulihat malaikat maut ataupun mahluk berjubah hitam yang biasanya ada di cerita-cerita kartun. Mungkin Ziegler benar, aku tak boleh menyerah begitu saja. Sekilas otakku membayangkan wajah Ziegler yang tersenyum. Entah kenapa, aku merindukannya. Sebelum mataku tertutup oleh obat bius, sekelebat senyumannya tampak di mataku.
“Kau akan sembuh Arlyn, kau akan sembuh.”

Kuingat itulah saat terakhir aku melihat senyumnya. Saat aku sadar, sebuah berita menyakitkan datang dan menyayat hatiku. Ziegler benar-benar tewas di laut. Ya, karena kram di kakinya. Aku menangis sejadi-jadinya di rumah sakit. Ingin kurobek-robek mulutku yang berkata sembarangan.
Dan hari ini, setengah tahun setelah kematiannya. Aku duduk di depan makamnya yang tertata rapi berhias foto Ziegler dan bunga-bunga. Dadaku sesak, aku menangis melihat senyuman di foto itu.
“Ziegler, kau dulu pernah berkata kalau kau mati dalam perjalanan mencapai cita-citamu, kau akan bahagia. Lalu apa sekarang kau bahagia? Katakan padaku Ziegler. Apa kau bahagia?”
Tetap saja yang kudapat hanyalah senyuman dari fotonya.
Kuarahkan pandangan ke langit yang tanpa awan. Tiba-tiba angin berhembus lembut, entah cuma perasaanku saja atau memang angin tersebut seperti membelai pipiku. Dan di langit kulihat Ziegler tersenyum.
“Aku bahagia Arlyn, aku bahagia.”


0 komentar:

Posting Komentar

 
;