Selasa, 01 November 2011 0 komentar

HITAM 3-4


3.
Lonita berjalan menuju kertas-kertas yang berserakan di atas meja Ayahnya. Mencoba meneliti kasus pembunuhan Oliviani. Biasanya ia selalu cuek dengan pembunuhan seperti itu, tapi anehnya sekarang ia ikut-ikut penasaran. Lonita merasa kasus tersebut begitu dekat dengan dirinya. Feelingnya yang tergolong tajam membuat ia yakin kalau ada hubungan antara dirinya dan kasus pembunuhan tersebut. Apa karena pembunuhan itu terjadi di sekolahnya atau bukan, ia tak tahu pasti.
Ia meneliti setiap informasi yang didapat oleh ayahnya. Bahkan menyalinnya ke dalam note kecil. Setelah itu melihat foto-foto tempat kejadian, korban saat ditemukan, seluruh barang bukti yang bisa ditemukan, bahkan darah-darah yang berceceran dilantai pun bisa dilihatnya. Dalam hati Lonita mengagumi kerja polisi-polisi itu. Menurutnya mereka hebat karena dalam waktu dua hari saja sudah begitu banyak data yang dikumpulkan. Bahkan ada juga catatan berisi hipotesa-hipotesa para polisi.
Ia keluar dari kamar ayahnya dan mengambil Capucinno miliknya. Berpikir mengenai data-data yang didapatnya dari kamar sang Ayah. Belum dapat sepuluh menit ia berpikir, telepon rumahnya berdering.
“Ya, keluarga Mukhtar?”
“Halo, Ta’? Ini Anton.” terdengar suara Anton dari seberang sana.
“Anton? Ada apa?”
“Apa kau sendirian di rumah?”
“Ya. Seperti biasa. Kenapa?”
“Tidak. Aku mau ke sana.”
“Ke sini? Tumben-tumben pakai tanya apa aku sendirian segala? Memangnya mau apa?”
Sesaat Anton terdiam kemudian berbicara dengan suara setengah bercanda, “Memperkosamu. Mumpung tak ada orang lain. Haha.”
“Hush!” refleks Lonita berseru.
“Hahahahaha!! Bercanda Nona! Hahahaha!!” Anton tertawa keras. Tapi di sela-sela tawa itu, Lonita masih bisa mendengar suara seorang gadis yang juga ikut tertawa.
“Ada Rasiska juga?”
“Eh? Oh, iya. Ini idenya. Rayandra juga ada kok.”
“Ide? Memangnya kalian mau apa sih?”
“Nanti saja kami ceritakan kalau sudah sampai di sana. Pokoknya sekarang siapkan makanan dan Chococinno hangat ya? Hehe.”
Lonita melirik cangkir yang ia pegang, “Adanya cuma Capucinno.”
“Ah, terserah. Pokoknya minuman enak. Ok Nona?”
“Iya, iya.”
“Ok. Kami sampai sekitar 10 menit lagi.”
“Ya.”
“Askum.” Salamnya singkat.
“Kumsalam.”



Tepat seperti yang dikatakan Anton di telepon. Ketiga orang itu sampai di rumah Lonita sepuluh menit kemudian. Anton membonceng Rasiska, sementara Rayandra datang dengan motornya sendiri. Ketiganya tersenyum pada Lonita yang berdiri berkacak pinggang sambil bersandar di pintunya.
“Lonita!” Rasiska berlari ke arah temannya, dan keduanya berpelukan.
“Haha. Ayo masuk. Ton, Ndra’, masuklah.”
Anton dan Rayandra yang berjalan berjajar terlebih dahulu ke ruang tamu memberikan pemandangan  yang berbeda di mata Lonita. Terlihat sekali dari belakang perbedaan kedua temannya itu. Anton yang tinggi menjulang seperti tiang listrik bila dibandingkan dengan pemuda lain yang seumuran dengannya. Lonita menerka tinggi pemuda itu sekitar 180cm. Kulitnya sedikit hitam karena terlalu banyak olahraga. Ya, itu membuatnya jadi ketua ekstra basket di sekolah mereka. Wajahnya manis dan rambut lurus selalu bergoyang indah saat ia melompat di arena basket.
Sedang Rayandra hanya mempunyai tinggi 170cm. Wajahnya yang tampan dan sifatnya yang pendiam menjadikannya bintang idola di sekolah. Meskipun jarang berbicara,  ada kabar bahwa ia jago dalam break dance dan beatbox. Teman-teman Lonita menyebut Rayandra dengan sebutan Mr.Cool. Rayandra sendiri seperti biasa, hanya tersenyum simpul begitu tahu bahwa ia digemari ratusan gadis di sekolah.
Lonita melirik Rasiska yang berjalan pelan di sampingnya. Rasiska paling mungil di antara mereka berempat. Rambutnya pendek sebahu dan berwajah putih bersih. Lonita sering berkomentar bahwa Rasiska sangat cocok dengan Anton, dan Rayandra menyetujui pendapat itu.
“Baik,” Lonita menghempaskan pantatnya ke sofa, “Jelaskan alasan kalian datang ke sini.”
“Ehmm..” Anton membetulkan posisi duduknya agar lebih dekat ke arah Lonita, “begini Ta’, ini soal pembunuhan kemarin.”
“Pembunuhan kemarin?”
“Iya. Entah kenapa, kami penasaran dengan pembunuhan itu.”
“Lalu?”
“Ya……., sebenarnya sih kami ingin mengajakmu ikut-ikut berpikir soal pembunuhan itu. Apa lagi ayahmu juga kepala polisi’kan?”
Anton tampak menunggu jawaban. Namun karena Lonita hanya diam, Rasiska menyahut.
“Ta, kami bermaksud mengajakmu ikut menyelidiki kasus ini. Soalnya jujur saja, kami juga ikut penasaran. Lagipula, pasti ayahmu juga bangga kalau anaknya bisa menyelesaikan kasus ini. Gimana Ta’? Mau’kan?”
Lonita tertawa.
“Memangnya ini benar-benar kasus pembunuhan?” katanya kemudian, “kan belum ada bukti. Ya, memang sebenarnya aku juga penasaran dengan kasus ini.”
“Justru itu Ta’, kita harus menyelesaikan kasus ini!” kata Anton dengan semangat.
“Ayah tak akan mengijinkan kita ikut campur,” Lonita melirik Rayandra yang hanya menjawab lirikannya dengan mengangkat bahu dan alis.
“Kita rahasiakan dari ayahmu.” Rasiska tampak berusaha membela Anton, “kita bergerak sendiri.”
“Apa tidak apa-apa? Kalau memang pembunuhan, akan bahaya sekali. Karena kita akan berhadapan langsung dengan sang pembunuh.”
“Itu resiko yang harus kita hadapi! Segalanya pasti butuh pengorbanan dan jerih payah, Ta’!”
Lonita cuma tersenyum melihat semangat ketiga teman-temannya. Ia tahu bahwa teman-temannya juga merasakan hal yang sama, merasa kasus ini begitu dekat dengan dirinya. Lonita mengangguk-angguk.
“Baik. Kita jalan.”


4.




“Hm….,” Anton tampak berpikir saat meneliti catatan kecil yang didapat Lonita. Seolah memang mengerti, dia membalik-balik catatan itu sambil mengangguk-angguk pelan, memaksa Lonita untuk tertawa. Tapi karena ia merasa Anton sedang serius, ia berusaha menahan tawa itu. Rayandra yang sedari tadi diam memberikan pertanyaan pertama kepada Lonita.
“Jadi, Oliviani ditemukan dengan posisi yang sudah berubah dari tempat semula?”
Lonita mengangguk, “Ya. Sama seperti yang kita dengarkan dulu.”
“Kenapa korban harus pindah?” tanya Rasiska.
“Entahlah.”
“Mungkin bermaksud meminta pertolongan.” Anton menyahut, “Kan di sebelah posisi korban ada telepon.”
“Oh, tapi ternyata ia tewas sebelum ada yang menolong? Kasihan sekali.”
“Aneh.” Rayandra berkomentar, kemudian memandang Lonita, “Bagaimana menurutmu Ta’?”
Lonita menggigit bibir. Setuju dengan perasaan Rayandra. Kemudian ia mengambil buku catatan tersebut. Berpikir mengenai perkataan teman-temannya dan semua yang tertulis dibuku tersebut.
“Kalau ini kasus bunuh diri, buat apa ia pindah tempat? Meminta tolong buat apa? Kalau ini pembunuhan, misalnya aku yang jadi pembunuh, maka aku akan lari dan tak akan berpikir gila untuk secara sengaja memindahkan korban dari tempatnya tergeletak. Bagaimana kalu tiba-tiba ada seseorang yang lewat?”
Rasiska mengacungkan telunjuknya, “Mungkin setelah ditusuk, ternyata korban masih hidup dan meminta pertolongan!”
“Aku akan memastikan korbanku telah tewas bila memang aku sengaja membunuhnya, tak ingin mengambil resiko ia selamat dan melaporkanku ke polisi.” Anton berpendapat dengan membayangkan dirinya sebagai sang pembunuh.
“Kalau begitu ini kasus bunuh diri? Dia sengaja berpindah tempat untuk menunjukkan sesuatu di sana. Berarti ada yang disembunyikan dalam posisinya itu?” Rasiska bertanya balik sambil melirik ketiga temannya.
Rayandra meletakkan punggungnya pada sandaran kursi, “Buat apa susah-susah berpindah tempat? Kalau memang ada yang disembunyikan dalam posisinya itu, bukankah akan lebih mudah kalau ia langsung bunuh diri di kursi itu?”
Anton dan Rasiska berpandangan. Kemudian keduanya melengos.
“Kau punya pikiran lain?” tanya Anton pada Rayandra. Rayandra menggeleng. Kemudian pandangannya beralih ke arah Lonita. Lonita pun menggerakkan pundaknya seolah mengatakan ketidaktahuannya.
Anton mengusap-usap kepalanya yang gampang berkeringat. Tampak sekali bahwa ia kebingungan. Baru menentukan ini pembunuhan atau bunuh diri saja sudah amat susah bagi mereka. Rasiska pun berekspresi sama, ia tampak sedikit pesimis. Lonita melihat hal itu, dan ia tak ingin kedua temannya kehilangan semangat. Maka ia pun berdiri.
“Akan kuambilkan minuman dulu. Mungkin kita bisa berpikir lebih tajam kalau kita rileks dan meminum minuman hangat.”
Lonita bejalan ke arah lemari pendingin yang ada tak jauh dari ketiga temannya. Ia masih bisa mendengar ketiga temannya berbincang.
“Oh ya, Ndra’ kau tadi bilang kalau kau tak bisa terlalu lama di sini’kan?” Anton bertanya.
“Oh, iya.”
“Sampai kapan?”
Rayandra melirik jam dinding, “Jam dua. Sekitar satu jam lagi.”
“Ini sudah tengah hari ya? Memangnya kau mau ke mana?” terlihat Rasiska ikut-ikutan bertanya.
“Tidak, ada perlu sedikit. Tadi aku sudah membuat janji dengan teman-teman. Latihan beatbox.”
Anton tertawa kecil, “Kau ini aneh ya Ndra’. Masa’ bocah beatbox super pendiam begini? Hahaha.”
“Ah, tidak juga.”
“Ahahaha! Iya Rayandra! Padahal kau begitu tenang dan kalem. Tapi aneh sekali kalau mengingat dirimu sangat jago break dance! Teman-teman yang baru tahu pasti langsung mati berdiri melihatmu.” Rasiska menyahut. Dan kemudian ketiganya tertawa.
Lonita ikut tertawa sambil membuat cappuchino. Tapi tiba-tiba saja ia mengingat sesuatu yang ada dalam perkataan mereka. Lonita terdiam seketika. Kembali melihat temannya.
“Memangnya janji mau beatbox dengan siapa?” Anton melanjutkan pertanyaannya
Pikiran Lonita menjelajah.
“Dengan teman-teman SMP dulu.”
“Oh… jadi teman-teman semasa SMP Rayandra semua suka beatbox?”
“Ya, begitulah. Ya, tidak semuanya sih, tapi banyak yang suka. Kita sudah ada rencana sejak masuk SMA untuk latihan bersama.”
Pikiran Lonita memuncak, ia menemukan kata-kata itu. Gelas yang dibawanya ditaruh begitu saja sampai terguling dan tumpah. Ia langsung berlari ke arah catatan yang terserak di depan teman-temannya yang terkejut dengan tingkah laku Lonita. Kemudian ditelitinya sesuatu yang baru ditemukannya. Ia mencari sebuah daftar, tapi tak ditemukan. Rayandra melihat itu, dan ia menyerahkan kertas yang ada di depannya.
“Ini?”
“Ah, Iya! Terima kasih.”
Anton memandang Rasiska dan Rayandra bergantian meminta penjelasan. Namun keduanya menjawab dengan ekspresi yang berkata ‘tidak tahu’.
“Ada apa Ta’?” akhirnya Anton bertanya sendiri.
“Kau menemukan sesuatu, Lonita?”
Sesaat Lonita terdiam sambil sedikit terpaku dengan kertas yang ada di tangannya.  Kemudian ia memandangi Anton tepat di matanya, “Ini pembunuhan.”
“Hah?!” Rasiska berseru.
“Jadi benar pembunuhan?!” Ketiganya tampak bingung.
“Bagaimana kau bisa menentukan seperti itu?” alis Rayandra naik menyelidik.
Lonita menyerahkan catatannya, “Lihat ini,” Ia menunjuk jadwal Oliviani sebelum kejadian, “Ia berkumpul bersama teman-temannya di sekolah seperti biasa. Berarti dia tak tahu apa-apa sebelumnya. Teman-teman sekelas dan pramukanya pun tak mengatakan ada sikap aneh dari dirinya. Setelah itu, ia sempat mengadakan janji yang seharusnya dilaksanakan pada sore hari tepat di hari yang sama dengan pembunuhan itu, namun ternyata Oliviani tewas pada malam sebelumnya. Jika seseorang tahu bahwa dirinya akan segera mati, ia tak akan membuat janji.”
“Tunggu dulu,” Anton menyela, “Lalu kenapa tidak ada luka atau tanda-tanda perlawanan dari korban?”
“Kalau menurutku, mungkin korban tak tahu bahwa orang yang bersamanya bermaksud membunuh. Dan sekiranya, sebuah serangan yang tak diduga-duga.”
“Berarti mereka sempat berbincang-bincang?” Rasiska bertanya dengan nada bingung.
“Ya. Aku pikir begitu.”
“Artinya…..” Rayandra menggumam, kemudian mengambil catatan Lonita, “Mereka dekat, bahkan akrab.”
“Oliviani telah dibunuh temannya sendiri. Begitu maksudmu?” Anton menjumput kue yang ada di depannya.
“Tidak, aku tidak bilang ia dibunuh oleh temannya. Tapi paling tidak mereka punya hubungan. Siapapun bisa jadi tersangka. Bisa juga orang luar!”
“Kejadiannya di ruangan pramuka. Jadi kemungkinan besar anak pramuka juga’kan?”
“Ya, memang 70 % pelakunya anak pramuka. Tapi kalau mengingat Oliviani adalah ketua, siapapun bisa masuk ke sana atas izin Oliviani sendiri.”
“Jadi, pembunuhnya………, ada kemungkinan dekat dengan kita juga?” Rasiska menelan ludah.
“Siapapun di sekolah ini, bisa jadi tersangka, Rasiska.” Anton memandang malaikat mungil di sampingnya yang terlihat was-was.
Ketiganya kemudian terdiam membenarkan. Lonita menatap ketiga temannya yang ternyata juga memandangnya.
“Jadi kira-kira, siapa yang ingin membunuh Oliviani?”  Rayandra mempertanyaan sesuatu yang membuka pikiran keempatnya.


 
;