Selasa, 01 November 2011 0 komentar

HITAM 3-4


3.
Lonita berjalan menuju kertas-kertas yang berserakan di atas meja Ayahnya. Mencoba meneliti kasus pembunuhan Oliviani. Biasanya ia selalu cuek dengan pembunuhan seperti itu, tapi anehnya sekarang ia ikut-ikut penasaran. Lonita merasa kasus tersebut begitu dekat dengan dirinya. Feelingnya yang tergolong tajam membuat ia yakin kalau ada hubungan antara dirinya dan kasus pembunuhan tersebut. Apa karena pembunuhan itu terjadi di sekolahnya atau bukan, ia tak tahu pasti.
Ia meneliti setiap informasi yang didapat oleh ayahnya. Bahkan menyalinnya ke dalam note kecil. Setelah itu melihat foto-foto tempat kejadian, korban saat ditemukan, seluruh barang bukti yang bisa ditemukan, bahkan darah-darah yang berceceran dilantai pun bisa dilihatnya. Dalam hati Lonita mengagumi kerja polisi-polisi itu. Menurutnya mereka hebat karena dalam waktu dua hari saja sudah begitu banyak data yang dikumpulkan. Bahkan ada juga catatan berisi hipotesa-hipotesa para polisi.
Ia keluar dari kamar ayahnya dan mengambil Capucinno miliknya. Berpikir mengenai data-data yang didapatnya dari kamar sang Ayah. Belum dapat sepuluh menit ia berpikir, telepon rumahnya berdering.
“Ya, keluarga Mukhtar?”
“Halo, Ta’? Ini Anton.” terdengar suara Anton dari seberang sana.
“Anton? Ada apa?”
“Apa kau sendirian di rumah?”
“Ya. Seperti biasa. Kenapa?”
“Tidak. Aku mau ke sana.”
“Ke sini? Tumben-tumben pakai tanya apa aku sendirian segala? Memangnya mau apa?”
Sesaat Anton terdiam kemudian berbicara dengan suara setengah bercanda, “Memperkosamu. Mumpung tak ada orang lain. Haha.”
“Hush!” refleks Lonita berseru.
“Hahahahaha!! Bercanda Nona! Hahahaha!!” Anton tertawa keras. Tapi di sela-sela tawa itu, Lonita masih bisa mendengar suara seorang gadis yang juga ikut tertawa.
“Ada Rasiska juga?”
“Eh? Oh, iya. Ini idenya. Rayandra juga ada kok.”
“Ide? Memangnya kalian mau apa sih?”
“Nanti saja kami ceritakan kalau sudah sampai di sana. Pokoknya sekarang siapkan makanan dan Chococinno hangat ya? Hehe.”
Lonita melirik cangkir yang ia pegang, “Adanya cuma Capucinno.”
“Ah, terserah. Pokoknya minuman enak. Ok Nona?”
“Iya, iya.”
“Ok. Kami sampai sekitar 10 menit lagi.”
“Ya.”
“Askum.” Salamnya singkat.
“Kumsalam.”



Tepat seperti yang dikatakan Anton di telepon. Ketiga orang itu sampai di rumah Lonita sepuluh menit kemudian. Anton membonceng Rasiska, sementara Rayandra datang dengan motornya sendiri. Ketiganya tersenyum pada Lonita yang berdiri berkacak pinggang sambil bersandar di pintunya.
“Lonita!” Rasiska berlari ke arah temannya, dan keduanya berpelukan.
“Haha. Ayo masuk. Ton, Ndra’, masuklah.”
Anton dan Rayandra yang berjalan berjajar terlebih dahulu ke ruang tamu memberikan pemandangan  yang berbeda di mata Lonita. Terlihat sekali dari belakang perbedaan kedua temannya itu. Anton yang tinggi menjulang seperti tiang listrik bila dibandingkan dengan pemuda lain yang seumuran dengannya. Lonita menerka tinggi pemuda itu sekitar 180cm. Kulitnya sedikit hitam karena terlalu banyak olahraga. Ya, itu membuatnya jadi ketua ekstra basket di sekolah mereka. Wajahnya manis dan rambut lurus selalu bergoyang indah saat ia melompat di arena basket.
Sedang Rayandra hanya mempunyai tinggi 170cm. Wajahnya yang tampan dan sifatnya yang pendiam menjadikannya bintang idola di sekolah. Meskipun jarang berbicara,  ada kabar bahwa ia jago dalam break dance dan beatbox. Teman-teman Lonita menyebut Rayandra dengan sebutan Mr.Cool. Rayandra sendiri seperti biasa, hanya tersenyum simpul begitu tahu bahwa ia digemari ratusan gadis di sekolah.
Lonita melirik Rasiska yang berjalan pelan di sampingnya. Rasiska paling mungil di antara mereka berempat. Rambutnya pendek sebahu dan berwajah putih bersih. Lonita sering berkomentar bahwa Rasiska sangat cocok dengan Anton, dan Rayandra menyetujui pendapat itu.
“Baik,” Lonita menghempaskan pantatnya ke sofa, “Jelaskan alasan kalian datang ke sini.”
“Ehmm..” Anton membetulkan posisi duduknya agar lebih dekat ke arah Lonita, “begini Ta’, ini soal pembunuhan kemarin.”
“Pembunuhan kemarin?”
“Iya. Entah kenapa, kami penasaran dengan pembunuhan itu.”
“Lalu?”
“Ya……., sebenarnya sih kami ingin mengajakmu ikut-ikut berpikir soal pembunuhan itu. Apa lagi ayahmu juga kepala polisi’kan?”
Anton tampak menunggu jawaban. Namun karena Lonita hanya diam, Rasiska menyahut.
“Ta, kami bermaksud mengajakmu ikut menyelidiki kasus ini. Soalnya jujur saja, kami juga ikut penasaran. Lagipula, pasti ayahmu juga bangga kalau anaknya bisa menyelesaikan kasus ini. Gimana Ta’? Mau’kan?”
Lonita tertawa.
“Memangnya ini benar-benar kasus pembunuhan?” katanya kemudian, “kan belum ada bukti. Ya, memang sebenarnya aku juga penasaran dengan kasus ini.”
“Justru itu Ta’, kita harus menyelesaikan kasus ini!” kata Anton dengan semangat.
“Ayah tak akan mengijinkan kita ikut campur,” Lonita melirik Rayandra yang hanya menjawab lirikannya dengan mengangkat bahu dan alis.
“Kita rahasiakan dari ayahmu.” Rasiska tampak berusaha membela Anton, “kita bergerak sendiri.”
“Apa tidak apa-apa? Kalau memang pembunuhan, akan bahaya sekali. Karena kita akan berhadapan langsung dengan sang pembunuh.”
“Itu resiko yang harus kita hadapi! Segalanya pasti butuh pengorbanan dan jerih payah, Ta’!”
Lonita cuma tersenyum melihat semangat ketiga teman-temannya. Ia tahu bahwa teman-temannya juga merasakan hal yang sama, merasa kasus ini begitu dekat dengan dirinya. Lonita mengangguk-angguk.
“Baik. Kita jalan.”


4.




“Hm….,” Anton tampak berpikir saat meneliti catatan kecil yang didapat Lonita. Seolah memang mengerti, dia membalik-balik catatan itu sambil mengangguk-angguk pelan, memaksa Lonita untuk tertawa. Tapi karena ia merasa Anton sedang serius, ia berusaha menahan tawa itu. Rayandra yang sedari tadi diam memberikan pertanyaan pertama kepada Lonita.
“Jadi, Oliviani ditemukan dengan posisi yang sudah berubah dari tempat semula?”
Lonita mengangguk, “Ya. Sama seperti yang kita dengarkan dulu.”
“Kenapa korban harus pindah?” tanya Rasiska.
“Entahlah.”
“Mungkin bermaksud meminta pertolongan.” Anton menyahut, “Kan di sebelah posisi korban ada telepon.”
“Oh, tapi ternyata ia tewas sebelum ada yang menolong? Kasihan sekali.”
“Aneh.” Rayandra berkomentar, kemudian memandang Lonita, “Bagaimana menurutmu Ta’?”
Lonita menggigit bibir. Setuju dengan perasaan Rayandra. Kemudian ia mengambil buku catatan tersebut. Berpikir mengenai perkataan teman-temannya dan semua yang tertulis dibuku tersebut.
“Kalau ini kasus bunuh diri, buat apa ia pindah tempat? Meminta tolong buat apa? Kalau ini pembunuhan, misalnya aku yang jadi pembunuh, maka aku akan lari dan tak akan berpikir gila untuk secara sengaja memindahkan korban dari tempatnya tergeletak. Bagaimana kalu tiba-tiba ada seseorang yang lewat?”
Rasiska mengacungkan telunjuknya, “Mungkin setelah ditusuk, ternyata korban masih hidup dan meminta pertolongan!”
“Aku akan memastikan korbanku telah tewas bila memang aku sengaja membunuhnya, tak ingin mengambil resiko ia selamat dan melaporkanku ke polisi.” Anton berpendapat dengan membayangkan dirinya sebagai sang pembunuh.
“Kalau begitu ini kasus bunuh diri? Dia sengaja berpindah tempat untuk menunjukkan sesuatu di sana. Berarti ada yang disembunyikan dalam posisinya itu?” Rasiska bertanya balik sambil melirik ketiga temannya.
Rayandra meletakkan punggungnya pada sandaran kursi, “Buat apa susah-susah berpindah tempat? Kalau memang ada yang disembunyikan dalam posisinya itu, bukankah akan lebih mudah kalau ia langsung bunuh diri di kursi itu?”
Anton dan Rasiska berpandangan. Kemudian keduanya melengos.
“Kau punya pikiran lain?” tanya Anton pada Rayandra. Rayandra menggeleng. Kemudian pandangannya beralih ke arah Lonita. Lonita pun menggerakkan pundaknya seolah mengatakan ketidaktahuannya.
Anton mengusap-usap kepalanya yang gampang berkeringat. Tampak sekali bahwa ia kebingungan. Baru menentukan ini pembunuhan atau bunuh diri saja sudah amat susah bagi mereka. Rasiska pun berekspresi sama, ia tampak sedikit pesimis. Lonita melihat hal itu, dan ia tak ingin kedua temannya kehilangan semangat. Maka ia pun berdiri.
“Akan kuambilkan minuman dulu. Mungkin kita bisa berpikir lebih tajam kalau kita rileks dan meminum minuman hangat.”
Lonita bejalan ke arah lemari pendingin yang ada tak jauh dari ketiga temannya. Ia masih bisa mendengar ketiga temannya berbincang.
“Oh ya, Ndra’ kau tadi bilang kalau kau tak bisa terlalu lama di sini’kan?” Anton bertanya.
“Oh, iya.”
“Sampai kapan?”
Rayandra melirik jam dinding, “Jam dua. Sekitar satu jam lagi.”
“Ini sudah tengah hari ya? Memangnya kau mau ke mana?” terlihat Rasiska ikut-ikutan bertanya.
“Tidak, ada perlu sedikit. Tadi aku sudah membuat janji dengan teman-teman. Latihan beatbox.”
Anton tertawa kecil, “Kau ini aneh ya Ndra’. Masa’ bocah beatbox super pendiam begini? Hahaha.”
“Ah, tidak juga.”
“Ahahaha! Iya Rayandra! Padahal kau begitu tenang dan kalem. Tapi aneh sekali kalau mengingat dirimu sangat jago break dance! Teman-teman yang baru tahu pasti langsung mati berdiri melihatmu.” Rasiska menyahut. Dan kemudian ketiganya tertawa.
Lonita ikut tertawa sambil membuat cappuchino. Tapi tiba-tiba saja ia mengingat sesuatu yang ada dalam perkataan mereka. Lonita terdiam seketika. Kembali melihat temannya.
“Memangnya janji mau beatbox dengan siapa?” Anton melanjutkan pertanyaannya
Pikiran Lonita menjelajah.
“Dengan teman-teman SMP dulu.”
“Oh… jadi teman-teman semasa SMP Rayandra semua suka beatbox?”
“Ya, begitulah. Ya, tidak semuanya sih, tapi banyak yang suka. Kita sudah ada rencana sejak masuk SMA untuk latihan bersama.”
Pikiran Lonita memuncak, ia menemukan kata-kata itu. Gelas yang dibawanya ditaruh begitu saja sampai terguling dan tumpah. Ia langsung berlari ke arah catatan yang terserak di depan teman-temannya yang terkejut dengan tingkah laku Lonita. Kemudian ditelitinya sesuatu yang baru ditemukannya. Ia mencari sebuah daftar, tapi tak ditemukan. Rayandra melihat itu, dan ia menyerahkan kertas yang ada di depannya.
“Ini?”
“Ah, Iya! Terima kasih.”
Anton memandang Rasiska dan Rayandra bergantian meminta penjelasan. Namun keduanya menjawab dengan ekspresi yang berkata ‘tidak tahu’.
“Ada apa Ta’?” akhirnya Anton bertanya sendiri.
“Kau menemukan sesuatu, Lonita?”
Sesaat Lonita terdiam sambil sedikit terpaku dengan kertas yang ada di tangannya.  Kemudian ia memandangi Anton tepat di matanya, “Ini pembunuhan.”
“Hah?!” Rasiska berseru.
“Jadi benar pembunuhan?!” Ketiganya tampak bingung.
“Bagaimana kau bisa menentukan seperti itu?” alis Rayandra naik menyelidik.
Lonita menyerahkan catatannya, “Lihat ini,” Ia menunjuk jadwal Oliviani sebelum kejadian, “Ia berkumpul bersama teman-temannya di sekolah seperti biasa. Berarti dia tak tahu apa-apa sebelumnya. Teman-teman sekelas dan pramukanya pun tak mengatakan ada sikap aneh dari dirinya. Setelah itu, ia sempat mengadakan janji yang seharusnya dilaksanakan pada sore hari tepat di hari yang sama dengan pembunuhan itu, namun ternyata Oliviani tewas pada malam sebelumnya. Jika seseorang tahu bahwa dirinya akan segera mati, ia tak akan membuat janji.”
“Tunggu dulu,” Anton menyela, “Lalu kenapa tidak ada luka atau tanda-tanda perlawanan dari korban?”
“Kalau menurutku, mungkin korban tak tahu bahwa orang yang bersamanya bermaksud membunuh. Dan sekiranya, sebuah serangan yang tak diduga-duga.”
“Berarti mereka sempat berbincang-bincang?” Rasiska bertanya dengan nada bingung.
“Ya. Aku pikir begitu.”
“Artinya…..” Rayandra menggumam, kemudian mengambil catatan Lonita, “Mereka dekat, bahkan akrab.”
“Oliviani telah dibunuh temannya sendiri. Begitu maksudmu?” Anton menjumput kue yang ada di depannya.
“Tidak, aku tidak bilang ia dibunuh oleh temannya. Tapi paling tidak mereka punya hubungan. Siapapun bisa jadi tersangka. Bisa juga orang luar!”
“Kejadiannya di ruangan pramuka. Jadi kemungkinan besar anak pramuka juga’kan?”
“Ya, memang 70 % pelakunya anak pramuka. Tapi kalau mengingat Oliviani adalah ketua, siapapun bisa masuk ke sana atas izin Oliviani sendiri.”
“Jadi, pembunuhnya………, ada kemungkinan dekat dengan kita juga?” Rasiska menelan ludah.
“Siapapun di sekolah ini, bisa jadi tersangka, Rasiska.” Anton memandang malaikat mungil di sampingnya yang terlihat was-was.
Ketiganya kemudian terdiam membenarkan. Lonita menatap ketiga temannya yang ternyata juga memandangnya.
“Jadi kira-kira, siapa yang ingin membunuh Oliviani?”  Rayandra mempertanyaan sesuatu yang membuka pikiran keempatnya.


1 komentar

HITAM 1-2



1.

Kedua manusia itu sedang berada di kegelapan yang sunyi. Keduanya adalah pelajar SMA, berasal dari sekolah yang sama. Mereka berdiam dan berbincang pelan dengan mesra di dalam ruangan pramuka yang kosong. Oliviani, sang gadis memandang pemuda yang ada di hadapannya. Pemuda itu menyentuh pipinya yang putih bersih, kemudian tersenyum padanya. Oliviani merasa baru saja melihat senyum terindah di dunia.
Ia terlena oleh cinta yang diberikan pemuda yang ada di hadapannya itu. Pemuda itu memang tampan, amat tampan. Dan Oliviani adalah salah satu pengagum pemuda itu. Ia merasa sangat beruntung, karena dari sekian banyak gadis yang mengagumi pemuda itu, ternyata pemuda tersebut memilih dirinya untuk menjadi kekasih hatinya.
“Aku mencintaimu, sayang.” Kata pemuda itu pelan.
Oliviani yang tersipu menjawab, “Aku juga mencintaimu.”
“Sebesar apa cintamu padaku?”
“Bahkan lebih besar daripada yang kau kira. Aku sendiri tak bisa mengukurnya. Pasti timbangan akan rusak bila aku meletakkannya di sana.”
Keduanya tertawa.
“Kau memang pandai bercanda.” Pemuda itu meraih rambut Oliviani yang panjang lurus dan terurai indah, “tapi aku suka cara bercandamu. Sungguh romantis.”
“Hahaha. Tentu saja. Tapi aku tak bercanda untuk ini. Cintaku memang sangat besar padamu, sayang.”
Pemuda itu terdiam sambil mempermainkan rambut Oliviani yang halus. Pemuda tersebut merasa ia sedang menyentuh sutra. Karena pemuda tersebut cukup lama tak bersuara, Oliviani angkat bicara.
“Ada apa?”
Pemuda itu menggeleng, “Tidak. Aku hanya ingin meyakinkan hatiku atas apa yang kau katakan tadi.”
Kening Oliviani mengkerut, “Kau masih belum begitu percaya padaku?”
“Bukan itu maksudku.”
“Lalu?”
“Tidak. Aku hanya ingin sesuatu yang membuatku yakin.”
“Apa itu?”

Pemuda itu kembali tersenyum. Oliviani yang penasaran tampak cukup sabar menanti jawaban. Lalu pemuda itu mendekati Oliviani lagi. Jarak bereka berdiri hanya satu jengkal. Hati Oliviani berdebar.
“Kau begitu mencintaiku, sayang?” Tanya pemuda itu.
“Ya.” Oliviani menjawab mantap, “seperti yang kukatakan tadi, bahkan lebih besar daripada yang kau kira.”
“Apa kau mau melakukan semuanya untukku?”
“Demi kau. Asal itu membuatmu bahagia.”
“Apapun?”
“Apapun.”
“Bahkan untuk mati sekalipun?”
“Ya, walau harus sampai mati, akan kuperjuangkan rasa ini.”

Pemuda itu kembali tersenyum dan membelai pipi Olivani. Kemudian ia menjauhkan dirinya sedikit. Kali ini senyumnya samar. Mengandung sebuah pengertian yang lain. Namun Oliviani terlalu terlena untuk menyadari hal tersebut.
Pemuda itu merogoh sesuatu di sakunya. Begitu tangannya lepas, Oliviani melihat sesuatu yang mengkilat sedang dipegang oleh pemua tersebut. Oliviani menaikkan alisnya.
“Apa itu, sayang?”
Pemuda itu mendekatkan benda yang ia pegang ke arah wajahnya yang tampan. KLIK! Ia menekan salah satu tombol dibenda tersebut, dan di saat yang sama mencuatlah sesuatu dari dalam. Di sana Oliviani dapat menebak benda tersebut. Sebuah pisau lipat.
“Untuk apa benda itu?” Olivia bertanya dengan heran.
“Hanya untuk membuktian kata cintamu.”
Oliviani terdiam, kemudian ia tertawa, “Hahahaha, kau ini ada-ada saja. Kau juga pandai bercanda.”
“Tidak, aku tidak bercanda.”
Tawa Oliviani terhenti. Ia melihat sebuah tatapan aneh memancar dari mata pemuda di hadapannya.
“Kau ini bicara apa? Haha. Ayolah.”
“Tunggulah sebentar, aku masih ingin pembuktian itu.”
“Tapi ini sudah gelap. Sudah waktunya untuk pulang.”
Pemuda itu memainkan pisaunya.
“Tak perlu pulang. Toh apapun yang terjadi, kau tak akan bila kembali ke rumahmu lagi.”
Tiba-tiba Oliviani merasakan sesuatu yang tidak beres di sana.
“A, apa maksudmu sayang?”
“Tidak ada.”
Pemuda itu berjalan mendekatinya kembali. Oliviani yang kini tahu bahwa pemuda tersebut tidak main-main berjalan mundur dengan sedikit ketakutan.
“Tunggu dulu. Apa yang terjadi?! Kenapa?”
Pemuda itu memandangnya sayu seperti memandang bayi mungil yang baru lahir, “Matilah untukku. Tadi kau berkata bahwa kau bersedia mati demi aku.”
“Hah? Apa maksudmu?”
“Tak ada. Aku ingin sebuah pembuktian.”
“Ta, tapi… bukan itu maksudku!”
Pemuda itu semakin dekat padanya. Dengan pisau yang siap menancap kepada apapun yang ada di sana, pemuda tersebut berjalan pelan.
“A, apa-apaan ini?!” Oliviani bertanya ketakutan. Pemuda itu tetap berjalan mendekat.
“Hentikan! Hentikan! Jangan bercanda. Ini tidak lucu!”
“Buktikan janjimu. Matilah untukku.”

Tubuh Oliviani gemetar. Ia dalam bahaya besar sekarang. Pemuda tersebut semakin mendekatinya. Dan tentu saja Oliviani semakin bergerak menjauh. Tiba-tiba ia berlari. Menggebrak pintu dan berusaha membukanya. Tapi tak bisa. Ternyata terkunci. Begitu ia mencoba meraih kuncinya, Oliviani tak mendapati kunci itu di sana.
Ia semakin ketakutan. Berusaha kabur dan berteriak serta menggedor pintu. Ia berusaha mencari-cari kunci yang diduganya terjatuh. Pemuda itu tertawa melihat Oliviani yang ketakutan.
“Apa yang kau cari sayang?” Pemuda itu kembali merogoh sesuatu di celananya.  “Ini?”
Olivini kaget saat melihat kunci yang dicarinya berada di tangan pemuda itu. Pemuda itu tersenyum apad Oliviani, “Sayang sekali. Aku sudah menyimpan ini terlebih dahulu.”
Oliviani ketakutan setengah mati. Ia  berteriak-teriak dan menggedor-gedor pintu. “Tidak!! Tolong! Bukakan pintu! Aku mau keluar! Seseorang tolong!”
Pemuda itu terkikik, “Hahaha. Percuma Oliviani-ku yang manis. Kau pikir sekarang jam berapa? Jam 7 malam. Kau pasti tidak menyadarinya’kan? Ternyata kita sudah bersenang-senang terlalu lama tadi. Hahahaha! Bahkan penjaga sekolahpun sudah pulang. Tak ada siapapun di sini.”
“Kenapa?! Kenapa kau melakukan hal ini?! Apa maumu?!”
Pemuda itu mengkerutkan kening mendengar pertanyaan Oliviani. “Loh, aku’kan tadi sudah bilang aku igin kau membuktikan cintamu padaku.”
“Tapi tidak begini!! Tolong jangan lakukan ini!”
“Percuma. Ini sudah menjadi keinginanku. Kau adalah kekasih terbaik yang pernah kumiliki. Tak’kan kubiarkan oarng lain yang mengambil nyawamu. Biar aku saja.”
“Tidak!! Tidak!! Aku mohon!” Pada detik itu, Oliviani menangis. Ia gemetar ketakutan. Pemuda itu kini berada di depannya, hanya berjarak tiga jengkal.
“Tidak… jangan! Lepaskan aku… biarkan aku hidup!” Oliviani kembali menggedor-gedor pintu. Air matanya mengalir deras. “Tolong!! Tolong!!”
Tiba-tiba saja ia merasakan tubuh pemuda itu menempel pada tubuhnya. Digenggamnya tangan Oliviani dengan erat. Kemudian ia membalikkan tubuh Oliviani ke arahnya.
“Tidak….. tidak… aku mohon….. jangan bunuh aku…”
“Aku tak ingin ada orang lain yang merebut hidupmu.”
Pemuda itu mencium kening Oliviani dengan lembut. Seolah-olah ia memang sangat mencintainya. Kemudian turun ke leher Oliviani yang berkeringat, dikecupnya pelan. Oliviani bergetar. Ia lemas dan tak mampu berdiri lagi.
“Tidak……….., tidak…”
Pemuda itu jongkok mengikuti gerak Olivinai. Ia mendekatkan wajah ke telinga Oliviani. Dan dengan pelan berbisik.
“Selamat tinggal, sayang.”
Oliviani yang sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi menutup mata begitu mendengar perkataan pemuda tersebut.
“Kau jahat……”
Dan dengan satu gerakan, hidup Oliviani berakhir.


2.


Pagi itu, kedatangan Lonita di pintu gerbang disambut oleh beberapa mobil polisi yang terparkir di depan halaman sekolah. Semua murid yang sampai di sekolah pada saat yang sama juga terheran-heran dengan kehadiran mobil-mobil itu. Siapa yang tak akan takut begitu melihat segerombol polisi sedang berkumpul di tepi halaman sambil mewawancarai beberapa orang murid. Lonita menoleh ke kanan dan kiri. Mencari barang kali ayahnya yang  seorang kepala polisi juga ada di sana.
Tak ditemukan sang Ayah, Lonita mendengar seseorang yang memanggilnya dari belakang.
“Lonita!!”
Dia menoleh. Rasiska berlari ke arahnya.
“Ra?”
“Ada apa sih ini? Kenapa banyak mobil polisi?”
“Entahlah, aku juga baru datang. Mungkin kita harus ke dalam dulu. Barang kali jawabannya ada di dalam sekolah.”

Mereka berjalan melewati mobil polisi yang terparkir tak beraturan ke arah taman tengah sekolah. Di sana mereka menemukan lebih banyak lagi polisi. Bahkan di satu sudut, yaitu di depan ruang Pramuka, siswa-siswa begerombol seperti berusaha melihat sesuatu yang ada di dalamnya. Ada yang menangis, bahkan ada yang menjerit. Lonita menyadari sesuatu yang besar dan akan membuat sekolahnya menjadi pembicaraan orang telah terjadi.
“Pasti di sana.” Tunjuk Lonita.
“Periksa seluruh siswa, tanyakan data korban kepada orang yang mengenalnya!” Tiba-tiba dari arah belakang seorang kepala polisi terdengar sedang memerintahkan anak buahnya. Lonita dan Rasiska berpandangan.
“Korban?” Alis Lonita mengkerut.
“Apa ada kecelakaan?”
“Kecelakaan di ruang pramuka?”
“Sebaiknya kita lihat dulu! Itu Anton dan Rayandra.”
Keduanya berlari ke arah teman-teman mereka yang sedang berdiri terpaku. Mereka tampak berwajah takut.
“Teman-teman!” teriak Rasiska.
Keduanya menoleh.
“Lho kalian?!” Anton menyambut keduanya, “Kalian kemana saja?! Dicari dari tadi. Kami takut karena kalian tidak datang-datang.”
“Memang ada apa sih?”
“Lho, belum tahu juga? Kalian tahu Oliviani, tidak?”
Lonita dan Rasiska berpandangan.
“Tahu, ketua ekstra pramuka itu’kan?”
“Iya. Tadi pagi, salah seorang siswi pramuka yang kebetulan piket pagi menemukan dia tewas di ruangan itu.”
“HAAH?! keduanya berteriak bersamaan, “Tewas?!”
“Iya. Tadi tiba-tiba saja terdengar jeritan dari ruang pramuka. Saat semua mendekat, mereka menemukan Meli pingsan dengan Oliviani yang sudah tewas berlumuran darah di depannya.” kata Anton sambil menunjuk siswa-siswa kelas satu yang sedang diinterogasi polisi.
“Bagaimana bisa?” tanya Rasiska.
“Mana ku tahu?” Anton menangkat bahunya, “tapi katanya ini pembunuhan, Iya’kan Ndra’?” dia menyenggol Rayandra. Yang disenggol cuma mengangguk dan meneruskan.
“Tapi aku dengar, katanya ada juga kemungkinan kasus bunuh diri. Karena tak ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuhnya.”
Sementara Rasiska dan Anton terus berbicara, Lonita terdiam. Dilayangkan pandangan ke arah ruang pramuka yang dipenuhi siswa dan polisi itu. Ia menggigit jari, berpikir.
“Lonita?” Rayandra heran melihatnya.
“Ah, ya?”
“Ada apa?”
“Ti, tidak.” Lonita tertawa,”Hanya mencari Ayah saja.”
“Ayah? Polisi?”
“Kepala bagian.”
Rayandra menggumam tanda mengerti.
Tiba-tiba dari arah ruang pramuka terdengar ribut-ribut. Dan sesaat kemudian, sebuah kantong besar berwarna kuning sedang diangkat oleh dua orang polisi dengan menggunakan tandu. Langsung saja para siswa mendekat mengikuti kedua polisi tersebut. Siswi-siswi anggota pramuka menangis semakin jadi.
“Itu mayatnya.”
Lonita tak tahu harus berkata apa.
“Kasihan.” gumam Rasiska di sampingnya. “Padahal Oliviani adalah gadis yang cantik. Baik pula. Tewas dengan percuma dalam keadaan yang mengerikan.”
Lonita mengangguk pelan sambil menggigit bibir.

***





“Korban bernama Oliviani Trisatya. Berumur 17 tahun. Dengan ciri-ciri sebagai berikut. Tinggi 160 cm. Rambut panjang lurus, tubuh ramping kulit putih. Dan dia merupakan siswi kelas 3 SMA.”
Lonita dan teman-temannya menoleh mendengar suara polisi yang ada di belakangnya. Tampak sang Ayah berjalan pelan bersama seorang anggota penyelidiknya. Ia bermaksud mendekat, namun tampaknya keduanya sedang serius.
“Baik.” Sang Ayah menerima data yang dibawakan polisi penyelidik itu dan membalik-baliknya, “Jadi dia diduga tewas sekitar 17 jam yang lalu?”
“Ya, dan korban dipindahkan dari tempatnya tewas ke kursi yang berada tak jauh dari tempat korban seharusnya.”
Kening Ayah Lonita mengkerut, “Dipindahkan?”
“Ya, korban dibunuh di balik pintu dan dipindah ke kursi. Terbukti dari bercak darah yang lebih banyak terdapat di pintu daripada di kursi itu sendiri.”
“Bagaimana posisi Korban saat ditemukan?”
“Dia duduk dan merunduk seperti sedang berdoa, sementara tangannya memegangi perutnya yang tertusuk.”
“Alat pembunuhan?”
“Tidak ditemukan satupun.”
“Barang bukti?”
“Tak ada juga.”
“Tersangka?”
“Kami masih belum bisa menentukannya, tapi tentu saja yang paling patut dicurigai adalah penjaga sekolah, yang paling terakhir pulang. Saat ia ditanyai, ia berkata dirinya sudah pulang saat itu. Dan sama sekali tak mendengar suara apapun.”
“Apa yang dilakukan Oliviani siang harinya?”
“Menurut data yang didapat dari para anggota pramuka dan teman-teman sekelasnya..,” polisi penyelidik itu membalik lagi lembarannya, “Ia hanya melakukan kegiatan rutin setiap hari. Dan sebelumnya dikabarkan, Oliviani mengadakan janji dengan anak-anak anggota pramuka lainnya.”
Ayahnya terdiam sesaat. Kemudian mengangguk cepat. “Baik, tolong cari lagi informasi yang ada. Termasuk dari teman sekelasnya.”


Lonita diam-diam mendengar percakapan itu. Dalam hati ia memikirkan mengenai kasus pembunuhan tersebut. Sang Ayah yang sudah sendirian kini berjalan ke arahnya. Ia tersenyum pada Lonita. Ditepuknya kepala Lonita.
“Ayah?”
“Kau baik-baik saja’kan?”
Lonita mengangguk, “Ya. Tapi jujur saja. Aku kaget sekali tadi.”
“Dia orang yang dekat denganmu?”
“Siapa?”
“Oliviani Trisatya?”
“Tidak, tapi semua orang mengenal dia. Dia merupakan gadis yang terkenal di sekolah ini. Prestasinya cukup membuat sekolah ini terkenal.”
“Berarti kalian telah kehilangan bintang pelajar rupanya.”
“Ya, begitulah.” Lonita mendesah pelan.
“Sepertinya, kasus ini akan lama terungkap. Berhati-hatilah.”
“Apa menurut Ayah pembunuhnya memang penjaga sekolah itu?”
“Entahlah. Tapi sepertinya penjaga sekolah itu sama sekali tak mengenal korban, begitupun sebaliknya.”
“Oh.”
“Ayah harus segera kembali. Jaga dirimu, sayang.”
“Ya Ayah.”
“Permisi semunya. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Lonita menghembuskan napas dan duduk. Ia melirik ketiga temannya. Masing-masing punya ekspresi wajah yang berbeda. Anton cuma tersenyum saat Lonita memandangnya. Rasiska mengangkat bahunya. Sedang Rayandra seperti biasa, hanya sedikit saja emosinya yang nampak, selebihnya terlihat datar.
Tak ada yang bisa dilakukan saat itu. Keempatnya hanya terpaku di tempat mereka duduk. Pikiran mereka menjelajah. Memikirkan hari aneh itu.
“Bagaimana kalau kita makan dulu?” tanya Anton sambil berdiri dan melihat jam tangannya, “ini sudah hampir tengah hari. Aku lapar.”
Ketiganya tersenyum tanda setuju.

bersambung ke part 3

0 komentar

Aku Bahagia Arlyn, Aku Bahagia.



Aku terdiam melihat wajahnya yang tersenyum padaku. Sebuah senyuman yang sama selama setengah tahun. Kucoba mendalami senyuman itu, tapi malah membuatku sakit. Karena senyuman itu mengingatkan sederet kenangan tentang dirinya.
Semua berawal dari waktu itu. Hampir setiap hari kami bertemu. Aku yang selalu duduk di pinggir pantai sambil merenung sementara ia yang sedang asik bermain selancar dengan teman-temannya. Kami sering bertemu pandang. Aku tak bermaksud sombong. Tapi aku merasa ia tertarik padaku. Sejak saat itu pun senyuman kami menjadi sapaan-sapan kecil tiap kalinya.
Singkat cerita saja, hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kami sudah resmi dikatakan akrab. Bahkan ia sudah tahu mengapa aku selalu memakai pakaian biru rumah sakit tiap kali bertemu.
“sejak kapan?” Tanya Ziegler membuka pertanyaan soal penyakit tumor yang selama ini menggorogoti tubuhku. Aku memandangnya datar. Segera sadar ia telah membuatku tak enak.
“a.., ah. Maaf. Aku cuma ingin tahu.” Katanya gugup. Aku menggeleng pelan.
“tak apa. Wajar kalau kau ingin tahu.” Kuminum airku sejenak., kemudian meneruskan. “Sudah sekitar setengah tahun, mungkin.”
Sekarang ia yang memandangku iba. Aku tersenyum pahit. “Ah, sudahlah Ziegler, percuma kau mengasihaniku seperti itu.”
Keningnya berkerut seperti mendengar perkataan yang aneh, “Apa maksudmu, Arlyn?”
“Sudah tak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkanku. Termasuk dokter-dokter itu. sebesar apapun usaha mereka, semuanya sudah percuma. Hanya ada kesia-siaan belaka. Juga orang tuaku. Mereka terlalu muluk-muluk menghabiskan biaya demi pengobatanku.”
Pandangannya mengatakan ia tak suka dengan kata-kataku. “Kenapa kau berbicara seperti itu? seolah kau sudah menyerah untuk hidup saja?”
Aku tertawa tersendal sesaat, “aku memang sudah menyerah untuk hidup. Ayolah, Zieg. Sudah berapa lama kau mengenalku? Jangan bersikap seperti itu.”

“Kau yang jangan bersikap seperti itu!” ia menghardikku.kenapa kau begitu mudah mengatakannya? Apa kau pikir nyawamu ada sembilan sehingga bisa dengan gampangnya kau membuang satu buah?!”
“Lalu mau bagaimana lagi? Tumor ini sudah menghabiskan tubuhku selama berbulan-bulan. Hanya tinggal menunggu waktu sampai aku sekarat kemudian mati!”
“Tidak! hentikan perkataanmu itu! kau salah!. Separah apapun kondisimu, kalau kau punya semangat untuk sembuh, kau pasti sembuh! Segala sesuatunya, dirimu-lah yang menentukan! Seperti aku, aku selalu bermimpi untuk menjadi peselancar hebat! Oleh karena itu…”
“Tunggu dulu.” Aku menghentikannya perkataannya, “Peselancar hebat?”
Dia tampak kaget dengan ucapannya sendiri. Sekonyong-konyong mukanya memerah. Tapi dengan cepat, ia bisa kembali mengendalikan dirinya dan berkata dengan mantab, “Ya! Aku ingin menjadi peselancar yang hebat. Menggapai mimpi hingga membuat bangga istri dan anak-anakku kelak!”
Aku terkekeh. Ia tersendal saja berkali-kali karena malu. Tak kusangka, pemuda berumur delapan belas tahun itu punya mimpi yang begitu besar. Sungguh polos. Aku dua puluh dua tahun. Tentu saja belum mengerti hal hal yang berat seperti yang kualami.



Semakin hari, aku semakin tahu betapa besar hatinya tentang kepercayaannya dalam memegang cita-cita. Setiap kamu mengobrol, tak henti-hentinya ia memakiku karena terus menyerah untuk hidup sekaligus tak henti-hentinya bercerita tentang cita-citanya.
“bagaimana kalau suatu hari tiba-tiba kakimu kram saat kau berada di tengah laut?” tanyaku menggoda.
Lain dari perkiraanku yang menyangka ia akan marah karena lagi-lagi aku membicarakan hal yang berbau kematian, ia justru tersenyum. “ kalau aku mati dalam perjuanganku mencapai cita-cita, aku akan mati dengan tenang meski jasadku tidak ditemukan.”
Aku terhenyak dengan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Namun sesaat kami tergelak bersama-sama. Menggema di antara deburan ombak pantai.
Sering kali kutemukan ia sedang berselancar di tengah laut. Ia melenggak-lenggok indah di atas papannya, melewati lorong air yang tercipta akibat besarnya ombak. Kemudian pada suatu waktu aku melihat ia beratraksi memamerkan kebolehannya di atas papan. Sambil menunggu ombak yang siap menggulung, ia menundukkan badan. Lalu tepat saat ombak menggulung dan ia terdorong ke puncak ombak, ia mengangkat papannya dan bersalto 1800 derajat! Berputar-putar indah sebanyak lima kali di atas air dan jatuh kembali tanpa oleng sedikitpun.
Aku terpaku. Kaget bercampur kagum. Teman-temannya yang berada di pinggir pantai bersorak penuh kegembiraan. Ziegler sendiri hanya tertawa sambil melambai-lambai padaku. Saat ku lihat dia di depanku begitu ia mendekat, aku bisa merasakan, ia pasti akan meraih cita-citanya itu.
“Bagaimana kau bisa melakukan itu, Zieg?” tanyaku setelah ia duduk di sampingku.
Dia mengeringai lebar dan membetulkan posisi duduknya.
“Itu’kan karena aku berlatih, Arlyn.”
“ Ya, iya aku tahu. Tapi bagaimana kau bisa melakukannya dengan begitu tenang? Bukan kah hal seperti itu bisa membunuh  nyawamu?”
“Hahaha, aku kan sudah bilang, aku cuma berlatih. Itu saja.”
Aku melengos kesal. Kemudian pandanganku tertuju pada ranting di depanku. Kuambil dan kubuat coret-coretan yang tak berbentuk di atas pasir. Aku duduk, dia mengikuti.
“Aku akan dioperasi, Ziegler.”
Tepat seperti apa yang kuduga, Ziegler terkejut.
“Hah? Benarkah, Arlyn? Kapan?”
“Minggu depan.”
Kulihat matanya yang memandang tenang, tapi kulihat ada kecemasan di sana. Aku memalingkan muka.
“Berhentilah memandang dengan pandangan seperti itu.”
Ziegler hanya diam. Aku berbalik memandangnya.
“Berjanjilah untuk sembuh.”
Keningku mengkerut, “Hah? Berjanji? Apa aku tidak salah dengar? Berjanji untuk sembuh? Apa kau pikir gampang berjanji seperti itu?”
“Kalau kau yakin akan sembuh ya kau akan sembuh Arlyn!!”
“Mana ada yang seperti itu?! Ayolah Ziegler,  jangan seperti anak kecil yang merengek seperti semuanya mudah saja dilakukan!”
“Kau yang jangan seperti anak kecil!” bentaknya.”kau terlalu berpikir sempit! Apa kau tau? Yang menentukan sembuh tidaknya kau, ya kau sendiri! Berteriaklah dalam hati “Aku harus sembuh! Aku harus sembuh!! “ Maka kau akan sembuh!”
Aku terdiam, baru pertama aku melihat Ziegler seperti ini. Matanya tajam, menunjukkan keyakinan yang kuat. Aku takut dengan pandangan itu, mulutku terkunci rapat.
“Kau tau Arlyn? Apa yang selama ini kubayangkan sebelum tidur?”pandangannya berubah sendu. Dia memegang tanganku tapi aku menepisnya. Dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan kata-katanya.
“Aku selalu membayangkan kita berdua merawat anak-anak kita. Kau dan aku. Iya, kau dan melihat anak-anak kita tumbuh dewasa dan mewujudkan mimpi-mimpi mereka. ” dia menelan ludah sejenak, “Kamu mau kan, Arlyn?”
Tanganku gemetar. Aku tak percaya ia mengatakan itu. Sejenak aku merasa linglung.
“Aku tak tahu Ziegler, tapi aku akan berusaha.”
Dia tersenyum, “Aku akan menunggumu, sampai kapanpun.”

Hari operasi itu datang. Perasaanku bimbang tanpa kutahu sebabnya. Saat masuk ruang operasi,tak kulihat malaikat maut ataupun mahluk berjubah hitam yang biasanya ada di cerita-cerita kartun. Mungkin Ziegler benar, aku tak boleh menyerah begitu saja. Sekilas otakku membayangkan wajah Ziegler yang tersenyum. Entah kenapa, aku merindukannya. Sebelum mataku tertutup oleh obat bius, sekelebat senyumannya tampak di mataku.
“Kau akan sembuh Arlyn, kau akan sembuh.”

Kuingat itulah saat terakhir aku melihat senyumnya. Saat aku sadar, sebuah berita menyakitkan datang dan menyayat hatiku. Ziegler benar-benar tewas di laut. Ya, karena kram di kakinya. Aku menangis sejadi-jadinya di rumah sakit. Ingin kurobek-robek mulutku yang berkata sembarangan.
Dan hari ini, setengah tahun setelah kematiannya. Aku duduk di depan makamnya yang tertata rapi berhias foto Ziegler dan bunga-bunga. Dadaku sesak, aku menangis melihat senyuman di foto itu.
“Ziegler, kau dulu pernah berkata kalau kau mati dalam perjalanan mencapai cita-citamu, kau akan bahagia. Lalu apa sekarang kau bahagia? Katakan padaku Ziegler. Apa kau bahagia?”
Tetap saja yang kudapat hanyalah senyuman dari fotonya.
Kuarahkan pandangan ke langit yang tanpa awan. Tiba-tiba angin berhembus lembut, entah cuma perasaanku saja atau memang angin tersebut seperti membelai pipiku. Dan di langit kulihat Ziegler tersenyum.
“Aku bahagia Arlyn, aku bahagia.”


 
;